Senin siang 24 Agustus 1959. Tepat setelah selesainya rapat Kabinet
Kerja I yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan Menteri
Pertama Ir Djuanda Kartawidjaja yang diselenggarakan di Bogor, kekacauan
langsung timbul di seluruh kota besar di Indonesia.
Bagaimana
tidak, hasil dari rapat tersebut yang diumumkan melalui Radio Republik
Indonesia (RRI) oleh Menteri Muda Penerangan Maladi pada pukul 14.30,
memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang
kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang
bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah. Nilai masing-masing
diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja.
Macan yang semula
mempunyai nilai Rp500 berubah menjadi Rp50 sedangkan gajah yang semula
Rp1.000 berubah menjadi Rp100. Dan pemotongan ini tidak terjadi dengan
nominal-nominal yang lebih kecil. Sekadar informasi gaji pegawai negeri
waktu itu berkisar pada Rp150 - Rp400 per bulan.
Berdasarkan buku
sejarah BI, keputusan itu didasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 2 Prp.
tahun 1959. Isinya, pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500
dan
Rp 1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Langkah ini dilakukan untuk menangani
laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an.
Karena
peraturan ini baru efektif keesokan harinya, 25 Agustus, jam 6 pagi
waktu Jawa, dan informasi tentang hal ini belum tersebar secara merata,
maka masyarakat menjadi kacau. Mereka yang mendengar informasi ini
berlomba-lomba membelanjakan uang macan dan gajahnya. Bank-bank diserbu
untuk menukarkan uang macan dan gajah dengan pecahan yang lebih kecil.
Toko sembako, toko emas, toko apa pun yang buka diserbu pembeli.
Pada
mulanya para pemilik toko merasa kegirangan barang jualannya laris
manis. Tetapi lama kelamaan merekapun sadar, mengapa uang yang mereka
terima hanya lembaran macan dan gajah saja. Kemana pecahan lain?
Akhirnya setelah mendengar dari teman atau keluarga yang mengetahui
peristiwa ini, secara serentak mereka menutup toko-tokonya.
Mendadak
pusat perbelanjaan dan pertokoan menjadi sepi. Semua toko tutup dan
pemiliknya juga ikut-ikutan membelanjakan uang macan dan gajahnya ke
daerah-daerah yang terpencil. Akibatnya penduduk di pedesaan yang kena
getahnya. Sapi, kambing, bahkan beras mereka diborong oleh orang kota.
Semuanya memakai uang macan dan gajah.
Kepanikan seperti ini
terus terjadi sampai saat mulai diberlakukannya peraturan tersebut tepat
pukul 6.00. Masyarakat tidak mau memegang uang macan dan gajah. Mereka
berlomba-lomba membelanjakan atau menukarkan ke bank. Sewaktu hari masih
siang, kurs masih sama. Beberapa jam sesudahnya kurs tinggal 50 persen,
dan terus merosot menjadi 30 dan 20 persen. Akhirnya tepat pukul 6.00,
25 Agustus 1959, kurs tinggal 10 persen.
Itu merupakan kisah
sanering tahap pertama yang dilakukan pada pemerintahan Soekarno. Pada
13 Desember 1965, Soekarno juga melakukan kebijakan yang sama, menyunat
tiga nol di belakang angka rupiah.
Langkah ini dipicu adanya
kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin
meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan
Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah
untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New
Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).
Kebijakan
ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan
inflasi. Defisit anggaran justru semakin meningkat. Pada 1961,
pemerintah mengalami defisit anggaran hingga 29,7 persen, lalu 38,7
persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), dan 63,4 persen
(1965).
REDENOMINASI BUKAN SANERING
Kali
ini Bank Indonesia akan melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai
nominal rupiah. Ini bukanlah sanering seperti yang dilakukan di masa
Soekarno. Melalui redenominasi, rencananya tiga angka nol akan dihapus.
Jadi, Rp1000 akan menjadi Rp1 dan Rp100 ribu akan menjadi Rp100.
Bila
aral tak melintang, tahun depan BI telah mulai melakukan sosialisasi,
hingga 2013 saat masa transisi dimulai. Pada masa ini harga barang akan
ditulis dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru.
Tahapan ini berlaku hingga 2016. Setelah itu BI langsung menarik uang
lama dan sepenuhnya menggunakan uang baru.
Gubernur Bank
Indonesia Darmin Nasution menyatakan, BI hanya akan melakukan
redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang. Bukan sanering.
"Redenominasi
ini terminologi yang tidak terlalu mudah buat lidah kita, tetapi
pengertiannya bukan sanering atau pemotongan nilai uang," ujar Darmin di
Jakarta, Selasa, 3 Agustus 2010.
Jika diartikan secara
sederhana, kata dia, redenominasi berarti penyederhanaan penyebutan
satuan harga maupun nilai mata uang. Maksudnya, pecahan mata uang
disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap
sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya, Rp1000 menjadi Rp1,
sedangkan Rp1 juta menjadi Rp1000.
Darmin memberikan contoh
dengan mata uang lama, membeli barang dengan harga Rp300 ribu sama
dengan Rp300 dengan mata uang baru. Jumlah barang yang diperoleh juga
sama. Begitupun dengan gaji Rp5 juta dengan uang lama sama dengan
Rp5.000 dalam uang baru.
BI mengingatkan nilai pecahan mata uang
Indonesia sebesar Rp100 ribu merupakan angka terbesar kedua di dunia.
Pecahan mata uang Indonesia itu hanya kalah dari dong Vietnam yang
memiliki pecahan 500 ribu. Namun, jika Zimbabwe dimasukkan, maka pecahan
Indonesia berada di urutan ketiga terbesar di dunia.
sumber by: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/168910-kisah-sanering-membawa-kacau-di-masa-soekarno
Bank Indonesia, Uang-kuno.com
Minggu, 10 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar