HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dari rumusan ini dapat diketahui
bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian
perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang
atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan
untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan
perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Syarat sahnya perikatan yaitu;
a ) Obyeknya harus tertentu.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
b ) Obyeknya harus diperbolehkan.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
c ) Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan.
d ) Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman
2. Dasar Hukum perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah
perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi
menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga
sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
3 . Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah
1.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4.
Suatu sebab yang Halal
Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1. Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2.
Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
4. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak
melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh
Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor
c. Bunga adalah kerugian yang
berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan
ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau
pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237
KUH perdata.
5. Terhapusnya
Hukum Perikatan
Perikatan itu
bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
a.
Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c.
Pembaharuan utang;
d.
Perjumpaan utang atau kompensasi;
e.
Percampuran utang;
f.
Pembebasan utang;
g.
Musnahnya barang yang terutang;
h.
Batal/pembatalan;
i.
Berlakunya suatu syarat batal;
j.
Lewat waktu.
HUKUM PERJANJIAN
1. Standar Kontrak
Istilah
perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard
contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan
dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak
oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat
oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut
sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah
satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya
para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit
atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam
kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Sedangkan
menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan
seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih
buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah
itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial.
Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti
kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel,
“freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general
principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi
syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak
membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi
ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa
pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu
perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat
perjanjian.
Tanpa sepakat
dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang
diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah
untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada
perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang
dimaksud.
Dengan akibat
transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi
dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat
pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku
terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua
pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan
penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan
berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam
perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena
alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan
diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak.
Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat
buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh
hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah
dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum
perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan
dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat
peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan
dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku
yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia
kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan
terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling
dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.Tetapi
tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn
berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang
lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya
asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan
dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau
perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku,
maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip
UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal
2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu
pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar,
persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2. Macam-macam Perjanjian
1.
Perjanjian Jual-beli
Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian
didapat pada Bab kelima, yang pada Pasal 1457 KUHPerdata diartikan sebagai
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan Perjanjian
Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu
(si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang
pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
2. Perjanjian Tukar
Menukar
Pasal 1541 KUHPerdata menyatakan bahwa tukar
menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertibal balik, sebagai
gantinya barang lain.
3. Perjanjian Sewa-Menyewa
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur tentang sewa
menyewa dapat dilihat pada Pasal 1548 yang berbunyi:
”Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada yang lain
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran
suatu harga yang oleh pihak yanag tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya”.
4. Perjanjian Persekutuan
Persekutuan menurut Syahmin AK (2006:59) adalah
merupakan bentuk perjanjian yang paling sederhana dalam tujuan untuk
mendapatkan keuntungan bersama. Dalam pelaksanaannya, pada persekutuan akan
terdapat beberapa perjanjian lainnya yaitu perjanjian kerja, perjanjian batas
waktu persekutuan, perjanjian sekutu dengan pihak ketiga, perjanjian pembagian
keuntungan, serta perjanjian – perjanjian lainnya.
5. Perjanjian Perkumpulan
Perjanjian Perkumpulan menurut perjanjian yang
dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dengan
tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal mana kerja sama ini disusun dengan
bentuk dan cara sebagaimana yang diatur dalam “anggaran dasar” ataupun
“statuten” nya.
6. Perjanjian Hibah
Perjanjian Hibah adalah suatu perjanjian dengan
mana si penghibah (pemberi hibah) pada masa hidupnya, dengan cuma-cuma dan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuat barang guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut. Pengaturan atas hibah didapat
pada Pasal 1666 sampai dengan 1693 KUH Perdata.
7. Perjanjian Penitipan Barang
Perjanjian Penitipan barang merupakan suatu
perjanian riil yang baru akan terjadi apabila seseorang telah menerima
sesuatu barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya
dengan mengembalikanya dalam wujud asal. Dasar hukumnya bisa dapati pada Pasal
1694 KUH Perdata.
8. Perjanjian Pinjam-Pakai
Perjanjian pinjam pakai adalah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah
memakai atau setelah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. Pengaturan
umum bisa kita dapatkan pada Pasal 1794 KUH Perdata.
9. Perjanjian Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu baran-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis
dan mutu yang sama pula. Ketentuan umum terhadapnya dalapat kita lihat pada
Pasal 1754 KUH Perdata.
10. Perjanjian Untung-Untungan
10. Perjanjian Untung-Untungan
Perjanjian ini adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara
pihak adalah bergantung pada suatu keadaan yang belum tentu. Yang termasuk
dalam perjanjian ini adalan perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup dan
perjudian dan pertaruhan.
11. Perjanjian Penanggungan
11. Perjanjian Penanggungan
Penanggungan adalah perjanjian dengan mana
seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatannya si berhutang ketika orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Ketentuan tentang penaggungan kita dapatipada Pasal 1820 KUH Perdata.
12. Perjanjian Perdamaian
12. Perjanjian Perdamaian
Pasal 1851 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian
perdamaian, yang merupakan perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.
13. Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal
balik antara pengangkut dengan pengirim dalam hal mana pengangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim adalah
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
14. Perjanjian Kredit
14. Perjanjian Kredit
Perjanjian ini adalah perjanjian penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, ibalan atau pembagian keuntungan.
15. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
15. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
yaitu perjanjian penyediaan dana bagi konsumen
untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran.
16. Perjanjian Kartu Kredit
yaitu perjanjian menerbitkan katu kredit yang
dapat dimanfaatkan pemegangnya untuk pembayaran barang dan jasa.
17. Perjanjian Ke-Agen-an
yaitu perjanjian dimana agen adalah perusahaan
yang bertindak atas nama prinsiple untuk kemudian menyalurkannya kepada
konsumen dengan mendapatkan komisi. Barang-barang adalah tetap menjadi milik
nya si prinsiple.
18. Perjanjian Distributor
18. Perjanjian Distributor
yang mana dalam perjanjian ini, distributor
bertindak atas namanya sendiri ia membeli suatu barang dari produsen dan
menjualnya kembali kepada konsumen untuk kepentingan sendiri.
19. Perjanjian Sewa Guna Usaha
(leasing)
Perjanjian sewa guna usaha (leasing) ini adalah
perjanjian yang memberikan barang modal, baik dilakukan secara sewa guna usaha
tanpa hak opsi (operating list) untuk dipergunakan oleh leasee selama jangka
waktu tertentu dengan pembayaran berkala;
20. Perjanjian Anjak Piutang (factoring agreement)
20. Perjanjian Anjak Piutang (factoring agreement)
yaitu pembiayaan dalam bentuk pembelian dan
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan
dari transaksi Perdagangan dalam dan luar negeri;
21. Perjanjian Modal Ventura
yaitu perjanjian penyertaan modal usaha dalam
suatu perusahaan mitra dalam mencapai tujuan tertentu seperti pengembangan
suatu penemuan baru, pengembangan perusahaan awal yang kesulitan modal,
pengembangan proyek penelitian dan rekayasa serta berbagai pengembangan usaha dengan menggunakan teknologi.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut
pasal 1320 KHUPer, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
2.
cakap untuk membuat suatu
pejanjian
3.
mengenai suatu hal tertentu
4.
sesuatu sebab yang halal
Dua syarat pertama dinamakan syarat
subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan
perjanjian.
Sedangkan
dua syarat terakhir disebut syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Sepakat
mereka yang mengikat Dirinya
Dengan
sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat,
setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual mengingini sejumlah uang, sedang pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.
setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual mengingini sejumlah uang, sedang pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.
Cakap
Untuk Membuat Suantu Perjanjian
Orang
yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang
yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum. Dalam pasal 1330 KUHPer, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian:
1.
Orang-orang yang belum
dewasa;
2.
Mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan;
3.
Orang perempuan dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh UU dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat
perjanjian tertentu
Dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa
orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian
itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung
jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban
hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan
kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh bebas
berbuah dengan harta kekayaannya.
Menurut
KUHPer, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 KUHPer).
Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh
orang/wali, adalah dengan diwakili, seorang anak tidak membikin perjanjian itu
sendiri tetapi yang tampil ke depan wakilnya. Tetapi seorang istri harus
dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang
membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin
tertulis.
Mengenai
Suatu Hal Tertentu
Sebagai
syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit harus ditentukan jenisnya
Suatu
Sebab Yamg Halal
Syarat
keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal.
Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi
perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai sesuatu yang terlarang. Misalnya,
dalam perjanjian jual beli dinyatakan bahwa si penjual hanya bersedia menjual
pisaunya, kalau si pembeli membunuh orang, maka isi perjanjian itu menjadi
sesuatu yang terlarang. Berbeda halnya jika seseorang membeli pisau ditoko
dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut
mempunyai suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang
lain.
Apabila
syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada
dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu null
and void.
Apabila
syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi
salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi,
perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan (oleh hakim)
atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian,
nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada
kesediaan suatu pihak yang mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable. Ia selalu diancam
dengan bahaya pembatalan (canceling).
Yang
dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak belum dewasa adalah anak itu
sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya. Dalam hal seorang yang
berada di bawah pengampuan, pengampunya. Dalam hal seorang yang telah
memberikan sepakat atau perizinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri.
Bahaya pembatalan itu berlaku selama 5 tahun menurut pasal 1454 KUHPer.
Bahaya
pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan (affirmation)
oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu, dapat
terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu menyatakan
dengan tegas mengakui atau akan mentaati perjanjian yang telah diadakan oleh
anak yang belum dewasa ataupun dapat terjadi secara diam-diam, misalnya orang
tua, wali atau pengampu itu membayar atau memenuhi perjanjian yang telah
diadakan oleh anak itu. Ataupun orang yang dalam suatu perjanjian telah
memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang
dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam.
4. Saat Lahirnya Perjanjian
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang
tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut
dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar
penuntutan di hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak
memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak
berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat
dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat
kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing
pihak telah menyepakati isi perjanjian.
Menetapkan
kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
- kesempatan penarikan
kembali penawaran;
- penentuan resiko;
- saat mulai dihitungnya
jangka waktu kadaluwarsa;
- menentukan tempat
terjadinya perjanjian.
Ada
beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian
yaitu:
- Teori Pernyataan
(Uitings Theorie)
Menurut teori ini,
perjanjian telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat
jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain
menyatakan penerimaan/akseptasinya.
- Teori Pengiriman
(Verzending Theori).
Menurut teori ini saat
pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos
dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
- Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat
lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh
pihak yang menawarkan.
- Teori penerimaan
(Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya
jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka.
Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat
itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.
5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam
kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif,
dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan Perjanjian
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan
kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu
mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal
pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian.
Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin
pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya
penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1)
Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak
dalam perjanjian
2)
Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3)
Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4)
Media pembayaran yang digunakan
5)
Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang
dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu
barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain
ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang
atau lavering adalah sebagai berikut:
1)
Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2)
Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan
yaitu teori kausal dan teori abstrak
3)
Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4)
Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati.
Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga
tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan
memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain
(pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam
pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai
berikut:
1)
Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
HUKUM DAGANG (KUHD)
1.
Hubungan Hukum
Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur
hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut
beberapa pengartian dari Hukum Perdata:
1.Hukum
Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan
2.Hukum
Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku
manusia dalam memenuhi kepentingannya.
Hukum dagang ialah
hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk
memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia
dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
Sistem hukum
dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan
perdagangan.Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum
tertulis yang dikofifikasikan :
a.Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b.Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum
tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang
mengatur
tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum
dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Hukum Dagang
di Indonesia bersumber pada :
1. Hukum
tertulis yang dikodifikasi yaitu :
a.KUHD
b.KUH
Perdata
2. Hukum
tertulis yang tidak dikodifikasi, yaitu peraturan perundangan khusus yang
mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan, misal UU Hak
Cipta.
Hukum Dagang (KUHD)
Hukum Dagang (KUHD)
1. Hubungan
Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus
dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum
Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kesimpulan ini
sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata.
Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan
hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok
hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis
derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum
yang bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab
undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap
hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat
erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut
terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan
hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal
perniagaan.
Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau
dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu
berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau
hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS)
dapat juga dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD
tidak mengaturnya secara khusus.
2. Berlakunya Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang
pada pokoknya mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai
pemerintah Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda
sendiri Wetbook van Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif
sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa
sejak Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan
perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam
kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi perubahan pengaturan
terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap
substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat peraturan baru terhadap
substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
3. Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha (pemilik perusahaan) yang
mengajak pihak lain untuk menjalankan usahanya secara bersama-sama,atau
perusahaan yang dijalankan dan dimiliki lebih dari satu orang, dalam istilah
bisnis disebut sebagai bentuk kerjasama. Bagi perusahaan yang sudah besar,
Memasarkan produknya biasanya dibantu oleh pihak lain, yang disebut sebagai
pembantu pengusaha. Secara umum pembantu pengusaha dapat digolongkan menjadi 2
(dua), yaitu:
a.Pembantu-pembantu pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling, pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
b. Pembantu pengusaha diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis, makelar, komisioner.
a.Pembantu-pembantu pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling, pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
b. Pembantu pengusaha diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis, makelar, komisioner.
4.
Pengusaha dan Kewajibannya
Ø Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban
menurut agamanya
Ø Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu,
kecuali ada ijin penyimpangan
Ø Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
Ø Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat
peraturan perusahaan
Ø Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur
resmi
Ø Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah
mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
Ø Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek
5. Bentuk-Bentuk Badan Usaha
Perusahaan Perorangan
Perusahaan Perorangan adalah perusahaan yang dikelola
dan diawasi oleh satu orang sehingga semua keuntungan yang didapatkan akan
menjadi haknya secara penuh dan jika terdapat kerugian maka yang bersangkutan
harus menanggung resiko tersebut secara sendiri.
Firma
Firma
Firma adalah Bentuk badan usaha yang didirikan oleh
beberapa orang dengan menggunakan nana bersama atau satu nama digunakan
bersama. Dalam firma semua anggota bertanggung-jawab sepenuhnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama terhadap utang-utang perusahaan kepada pihak
lainnya.
Persekutuan Komanditer (Commanditer Vennootschap)
Persekutuan Komanditer adalah persekutuan yang
didirikan oleh beberapa orang sekutu yang menyerahkan dan mempercayakan uangnya
untuk dipakai dalam persekutuan.
Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas (PT/NV atau Naamloze Vennotschap)
adalah suatu badan usaha yang mempunyai kekayaan, hak, serta kewajiban sendiri,
yang terpisah dari kekayaan, hak sereta kewajiban para pendiri maupun pemilik.
Koperasi
Menurut UU no. 25 Tahun 1992, Koperasi adalah suatu
bentuk badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi
yang melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Yayasan
Yayasan
Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat
sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan
formal yang ditentukan dalam undang-undang.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BUMN adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun dan bergerak dalam bidang
usaha apapun yang sebagian atau seluruh modalnya merupakan kekayaan Negara,
kecuali jika ditentukan lain berdasarkan Undang
SUMBER ::

0 komentar:
Posting Komentar